Sumpit Kayu Ulin
Secara alami, species Eusideroxylon zwageri dewasa bisa setinggi 50 m
dengan diame-ter hingga 120 cm. Umumnya tumbuh di dataran rendah sampai
ketinggian 400 m. Ia hi-dup terpencar atau mengelompok dalam hutan
campuran. Uniknya ia mudah dibelah walaupun sangat sulit dipaku dan
digergaji.
Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), ulin
termasuk red list atau kategori rentan punah (vulnerable). Ia sulit
dijumpai akibat over eksploitasi melalui aktivitas illegal logging dan
perambahan hutan. Padahal di sisi lain pohon ini sulit dibudidayakan.
“Tanaman itu sulit dibudidayakan karena solid dan slow growing,” kata
Nugroho Sulistyo Priyono, Kepala Bagian Evaluasi, Diseminasi, dan
Perpustakaan Balitbang Kehutanan. Rata-rata pertumbuhannya hanya 0,058
cm/tahun. Artinya, perlu waktu sekitar 80-100 tahun agar ta-naman keras
itu bisa ditebang.
Padahal, peran pohon ulin dalam ekologi cukup besar. Ia tempat tinggal
favorit bagi orangutan. Mereka suka memakan daun-daun ulin yang masih
muda. Ia menghasilkan oksigen yang menyerap karbondioksida,
memperta-hankan dan menahan air tanah, serta mempe-ngaruhi iklim mikro
di sekitarnya.
Kayu ulin bernilai ekonomi tinggi. Sifatnya yang kokoh sekaligus awet
dimanfaatkan seba-gai konstruksi berupa tiang fondasi bangunan, atap
kayu (sirap), papan lantai, bahan untuk bangunan jembatan, bantalan
kereta api dan kegunaan lainnya. Keberadaan primadona endemik Kalimantan
ini kian sulit ditemukan. Kalau pun ada harganya sangat mahal.
Ulin juga dapat dijadikan bahan herbal. “Ulin termasuk jenis tanaman
obat,” papar Marfuah Wardani, peneliti Balitbang Kehutanan Bidang Botani
kepada Majalah Sains Indonesia di Bogor (8/12). Ada tiga jenis bagian
dari kayu ulin, menurut Marfuah, bisa dimanfaatkan untuk kesehatan yaitu
daun muda, esktrak biji, dan buahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar